Loading...
Monday, June 29, 2020

MENGENDALIKAN WERENG BATANG COKLAT SECARA KULTUR TEKNIS


 

MENGENDALIKAN WERENG BATANG COKLAT

SECARA KULTUR TEHNIS

Disusun Oleh Wibowo, S.ST. PP. Madya Dinas Pert. Dan Ket. Pangan Kab. Tegal

A.   PENDAHULUAN

Akhir-akhir ini Indonesia sudah mualai swasembada pangan lagi,terutama beras.  Peningkatan produksi yang telah tercapai setelah Pemerintah gencar melaksanakan program UPSUS melalui LTT, Program Peningkatan Produksi Beras Nasional telah berhasil, dengan memberikan berbagai  subsidi, bantuan langsung dan insentif bagi petani  dalam bentuk benih unggul termasuk padi hibrida, pupuk kimia (N,P, K ) dan pupuk organik pada petani dan  kelompok tani melalui Gapoktan. Kegiatan penyuluhan petani ditingkatkan dengan menambah kuantitas dan kualitas tenaga PPL yang disebarkan sampai ke semua   desa.  Peningkatan produksi yang telah dicapai memberikan dampak terhadap stabilitas ekonomi kita,  peningkatan produksi padi setiap tahun yang ditargetkan 5% guna mengimbangi pertambahan kebutuhan pangan akibat pertambahan  penduduk  serta  kebutuhan sektor lain akan  tanaman pangan.  
Seiring dengan meningkatnya luas tambah tanam ( LTT ), bila tidak diimbangi dengan pengelolaan lingkungan denan baik, dimungkinkan adanya serangan hama yang dominan didaerah tersebut, misalnya hama wereng batang coklat, penggerek batang padi, Tikus dll.
Implementasi program P2BN secara luas melalui LTT, intensif, dan cenderung seragam akan mengundang reaksi dan umpan balik  ekologis yang secara potensial  dapat menjadi penghambat pencapaian sasaran jangka pendek usaha peningkatan produksi pangan. Reaksi ekologi tersebut dapat mengakibatkan P2BN menjadi semakin tidak efektif dan efisien dalam mencapai sasarannya yaitu peningkatan produksi pangan berkelanjutan. Salah satu bentuk reaksi ekologis yang sekarang  dihadapi oleh petani adalah peningkatan  letusan dan  serangan organisme pengganggu tanaman (OPT) terutama  hama wereng batang cokelat (WBC) beserta  penyakit virus yang ditularkan (virus kerdil rumput dan virus  kerdil hampa)    
Begitu juga penggunaan insektisida secara tidak ‘tepat guna’ mendorong meningkatnya populasi dan luas serangan WBC. Hasil pengamatan lapangan di beberapa titik di Jawa Tengah menunjukkan bahwa analisis di atas sesuai dengan kondisi yang ada di lapangan, di samping kondisi cuaca yang mungkin juga berpengaruh. Populasi WBC yang ada di beberapa titik sangat tinggi, dan dengan kemampuan migrasi serta tersedianya non VUTW populasi yang ada saat ini dapat meningkat dan meluas secara cepat. Lebih lagi, VUTW yang ada (IR64) mengindikasikan kalau sifat ketahanannya telah terpatahkan oleh mungkin munculnya biotipe baru. Teknologi yang ada dan kebijakan pelaksaan Inpres No. 3 Tahun 1986 diyakini masih relevan dan mampu mengatasi permasalahan WBC kalau dilaksanakan secara benar.
Ada banyak kebijakan  penting dalam Inpres 3/1986  tersebut dan enam  diantaranya adalah:
1.        Pengendalian hama wereng cokelat dengan menggunakan prinsip Pengendalian  Hama Terpadu (PHT);
2.        Penggunaan pola tanam yang diarahkan ke pertanaman serentak, pergiliran tanaman dan pergiliran varietas;
3.        Penananman varietas unggul tahan hama;
4.        Lima puluh tujuh (57)  formulasi insektisida yang dapat menimbulkan resurjensi, resistensi dan dampak lain yang merugikan  dilarang digunakan untuk tanaman padi;
5.        Pengamatan hama untuk mengetahui kemungkinan timbulnya hama secara dini dan akurat perlu dilaksanakan antara lain dengan menambah jumlah tenaga pengamat serta meningkatkan pengetahuan dan ketrampilannya melalui kegiatan pelatihan PHT;
6.        Dalam rangka penyuluhan pertanian kepada penyuluh pertanian dan kelompok tani/petani diberikan latihan untuk meningkatkan ketrampilannya.

B.    PERMASALAHAN DILAPANGAN

1.      Faktor utama yang berkontribusi terhadap meningkatnya populasi dan meluasnya serangan WBC dalam beberapa tahun terakhir adalah potensi biotis WBC yang tinggi, faktor abiotik, dan kegiatan operasional budidaya padi yang favorable (mendukung) berkembangnya populasiWBC. Ketiga faktor tersebut dapat bekerja secara bersama maupun secara sendiri-sendiri. Penjabaran lebih lanjut akan kami fokuskan pada faktor terakhir.  
2.      VUTW masih cukup banyak ditanam oleh petani, misalnya IR64, tetapi varietas lain yang tidak tahan terhadap WBC (Non VUTW) juga banyak ditanam di berbagai sentra produksi padi bahkan di daerah-daerah yang sudah diketahui sebagai daerah endemik. Varietas Non VUTW ini pada umumnya adalah varietas lokal atau hibrida yang rentan terhadap semua biotipe WBC. IR64 yang mempunyai gen ketahanan juga mati karena serangan WBC. Sangat mungkin populasi WBC yang ada saat ini di lapangan merupakan populasi yang telah mampu beradaptasi dan berkembang dengan mematahkan gen ketahanan yang ada pada IR64. Kombinasi antara ketersedian varietas peka yang dapat digunakan sebagai tempat hidup WBC berbagai biotipe dan munculnya biotipe baru yang mematahkan VUTW yang ada saat ini memberikan ekosistem yang kondusif bagi berkembangnya WBC. 
3.      Pada kenyataannya insektisida masih banyak digunakan untuk pengendalian WBC maupun hama padi lainnya. Sudah sangat dipahami bahwa penggunaan insektisida yang tidak tepat menyebabkan berbagai dampak yang tidak diinginkan, diantaranya resistensi dan resurjensi. Hasil penelitian sudah banyak yang mendokumentasikan kemampuan populasi WBC untuk  menjadi tahan terhadap berbagai jenis insektisida. Insektisida sama yang dipakai secara terus menerus akan menyebabkan munculnya populasi yang resisten (tahan) terhadap insektisida dalam waktu yang relatif singkat. Penelitian kami di laboratorium menunjukkan bahwa tidak lebih dari enam bulan populasi WBC sudah bisa menjadi resisten terhadap insektisida tertentu. Resurjensi juga dipicu oleh digunakannya inseketisida yang berspektrum luas dan digunakan tidak sesuai dengan dosis/konsentrasi rekomendasi. Mempertimbangkan pengalaman sebelumnya dan kegiatan pertanian padi yang kita praktekan saat ini, resistensi dan resurjensi dapat juga mempunyai kontribusi terhadap meningkatnya populasi WBC di beberapa daerah akhir-akhir ini. 

7.     CARA PENGENDALIAN KULTUR TEHNIS

a.         Pengendalian hama terpadu ( PHT ),  adalah sistem pengendalian populasi hama dengan menerapkan berbagai cara pengendalian yang serasi dalam suatu kesatuan program sehingga populasi hama dapat ditekan di bawah tingkat yang dapat menimbulkan kerugian ekonomi, dan aman terhadap lingkungan. Teknologi yang digunakan harus benar-benar yang menguntungkan petani.

b.         Menanam Varietas Tahan : Khusus dalam pengendalian hama wereng coklat dan penyakit-penyakit virus yang ditularkan, penggunaan varietas tahan sangat menentukan, terhadap perkembangan populasi hama tanaman.

c.         Pengaturan Pola Tanam
Cara-cara pengaturan pola tanam yang dapat diterapkan dalam pengendalian hama wereng coklat dan penyakit virus yang ditularkannya adalah tanam serentak, pergiliran tanaman, dan pergiliran varietas tahan.

d.        Tanam Serempak
 Dengan tanam serentak diharapkan tidak terjadi tumpang tindih generasi hama sehingga populasi wereng coklat tidak mempunyai kemampuan untuk berkembangbiak, terus menerus, memudahkan pengamatan dan apabila diperlukan memudahkan penentuan saat aplikasi insektisida dan lebih menjamin efektivitas aplikasi insektisida. Dengan demikian aplikasi insektisida tidak perlu diulang-ulang.

Tanam serentak dapat membantu memutuskan tersedianya makanan hama karena adanya periode tidak ada tanaman (Bera) pada saat pengolahan tanah diantaranya dia periode tanam, sehingga populasi wereng coklat dapat ditekan, Tanam serentak hendaknya dilakukan pada areal yang cukup luas sekurang-kurangnya meliputi satu petak tersier atau wilkel dengan selisih waktu tanam paling lama dua minggu dan selisih waktu panen paling lama empat minggu. Untuk itu varietas padi yang ditanam harus yang berumur relatif sama.

e.         Pergiliran Tanaman
Hama wereng coklat tidak mempunyai inang lain selain padi. Penanaman monokultur padi secara terus menerus menyebabkan tersedianya tanaman inang sepanjang tahun yang memungkinkan berkembangnya populasi wereng coklat. Oleh karena itu, usaha untuk memutus ketersediaan makanan mutlak diperlukan. Usaha tersebut antara lain dengan cara menerapkan pergiliran tanaman, yaitu sekurang-kurangnya satu kali menanam non padi atau dibiarkan bera selama satu sampai dua bulan setiap tahun 



f.          Pergiliran Varietas Tahan
Bagi daerah-daearah berpola tanam padi sepanjang tahun karena berbagai alasan seperti drainase, sosial ekonomi, dan lain-lain, hendaknya dilakukan pergiliran varietas tahan untuk menekan dan menghambat perkembangan biotipe baru. Varietas yang digilir harus dari kelompok varietas yang memiliki gen tahan (tetua tahan) yang berbeda 

Cara ini perlu ditunjang dengan pengelolaan penyediaan benih yang terprogram denga baik untuk menjamin ketepatan jenis, mutu, jumlah, waktu, tempat dan harga, oleh karena itu, perusahaan-perusahaan benih, penangkar-penangkar benih dan ikatan penangkar benih harus benar-benar memahami akan pentingnya penyediaan benih dalam usaha pengendalian hama terpadu wereng coklat.

g.         Penanaman Varietas Unggul Tahan Wereng (VUTW)
Di daerah tropis, penanaman varietas tahan mempunyai peranan yang penting dalam pengendalian hama wereng coklat. Namun demikian, pengendalian wereng dengan mengandalkan pada penanaman varietas tahan masih mengandung resiko, karena ketahanan genetik varietas tahan dapat dipatahkan oleh adanya perkembangan biotipe wereng coklat. Oleh karena itu wereng coklat memiliki potensi reproduksi yang tinggi, siklus hidup yang pendek dan sifat monophagus, maka akan mendorong terjadinya biotipe yang lebih ganas (biotipe virulen) terhadap varietas tahan monogenik yang ditanam secara monokultur terus menerus. Dengan demikian, berarti daya tahan varietas tergantung sepenuhnya pada perkembangan biotipe virulen.

h.         Eradikasi dan Sanitasi
Eradikasi dan sanitasi dilakukan dengan tujuan menghilangkan sumber serangan. Pada daerah serangan wereng coklat yang bukan merupakan daerah serangan virus kerdil rumput dan kerdil hampa, eradikasi dan atau sanitasi dilakukan pada tanaman padi yang puso (intensitas serangannya > = 85%). Pada daerah serangan berat, eradikasi hendaknya diikuti dengan pemberaan lahan selama satu sampai dua bulan atau penanaman tanaman non padi.

 

 

 

 

 

0 comments:

Post a Comment

 
TOP